Thursday, 19 October 2017

Refleksi Kemerdekaan

*_"Refleksi Kemerdekaan 1"_*
*( Semangat 1945)*
_  Umar Zain Assegaf  ___

Bulan Agustus adalah bulan spesial bagi kita, rakyat *NKRI* ini. Dulu, waktu kecil kenangan saya yang terngiang adalah selalu membuat rangkaian kertas minyak merah putih dan digantung didepan rumah, dan ikut lomba-lomba di kampung. Sedang kenangan waktu remaja adalah ikut panitia acara agustusan lewat karang taruna, kadang kita tampil saat acara tirakatan dengan menyajikan drama yang saya sisipkan nasehat Islami.

Tapi, terhitung sekitar 10 tahunan lalu hingga tahun ini, suasana kemeriahan Agustusan, khususnya didaerah saya sangat jauh berbeda. Mungkin di derah lain greget nya masih tampak, namun saya rasa juga sama saja. Semangat anak-anak kecil dalam ikut lomba, semangat para pemuda karang taruna, bahkan semangat orang-orang tua dalam memasang bendera didepan rumahpun semakin surut

Memang banyak sekali faktor yang membuat semangat dalam merayakan Agustusan semakin luntur. Disamping kesibukan, orang sekarang yang cenderung praktis dan yang menyumbang paling banyak penurunan semangat itu adalah faktor kemodernan baik bagi anak-anak kecil yang lebih interest dengan dunia game online, maupun yang dewasa dengan dunia media Internet nya.

Jika ditanya secara kepentingan pribadi, jujur saya lebih suka yang simple aja. Hanya pasang bendera didepan rumah, lomba tidak usah banyak-banyak, tasyakuran malam 17 yang cepat aja. Tapi jujur juga, saya merindukan suasana yang dulu, kemeriahan yang benar-benar sangat terasa kalo ini bulan Agustus, beda, ada semacam semangat kepahlawanan sedikit didalam hati.

Memang kebetulan di era saya, menurut orang-orang sekitar adalah zaman keemasan karang taruna, yaitu sekitar tahun 90an. Karena hampir tiap malam tasyakuran selalu menampilkan kreasi drama Islami yang mampu membuat tangis dan tawa beberapa hadirin. Kita kenal juga di era itu adanya sinoman kalau di Jawa, yaitu andil pelayanan dari pemuda Karang Taruna jika ada yang punya hajat, murni gratis, namun saat ini sudah diganti dengan tim katering yang berbayar.

Waktu memang punya ceritanya sendiri-sendiri. Kita tidak boleh flashback, harus selalu memandang kedepan. Kita harus bicara saat ini, kenyataan yang ada adalah rakyat bukan semakin meresapi makna kemerdekaan tapi malah membuang nilai-nilai ketimuran, nilai-nilai yang dulu diperjuangkan oleh para Pahlawan bangsa. Mereka mengusir para penjajah Negri ini bukan karena benci dengan penjajah, bukan karena anti dengan orang asing, tapi karena penjajah memaksakan nilai-nilai Asing yang bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran.

Para penjajah dengan semangat *Gold*, *Gospel* and *Glory*, yaitu Pencarian Kekayaan, Penyebaran Agama, Kristen oleh Inggris dan Katholik oleh Portugis, dan Invasi Kekuasaan Daerah baru, telah mengganggu tatanan masyarakat yang sudah tertata baik. Demi mensukseskan 3 misi tadi, membuat mereka melakukan tindakan pemaksaan, penindasan dan kesewenang-wenangan kepada penduduk setempat

Tapi, Alhamdulillah Islam yang lebih dulu masuk di negri ini dengan jalan damai sudah mengakar kepada penduduk nya, hingga meski dengan cara apapun mereka akan merubahnya tetap tidak bisa berhasil, padahal Para Penjajah itu cukup lama memegang kekuasaan penuh saat itu, dan biasanya penyebaran agama sangat efektif jika lewat jalur kekuasaan, hanya mungkin sekitar 5 persen saja dari penduduk yang berubah agama nya menjadi Kristen atau Katholik.

Maka tampilah para Ulama-ulama di Negri ini memimpin perjuangan dan perlawanan terhadap para Penjajah. Jika kita lihat dalam sejarah, hampir semua pahlawan perjuangan adalah *Ulama*. Sejak dari *Pangeran Diponegoro*, *Imam Bonjol*, *Sultan Hasanuddin*, bahkan sampai *Wali Songo* pun, yaitu *Sunan Gunung Jati* langsung turun tangan mengutus murid nya *Fatahillah* berjuang melawan Penjajah.

Kenapa para Ulama itu terjun langsung memimpin perjuangan?, Karena mereka adalah ahli agama, sedang dalam agama Islam, ada ajaran Jihad. Yang mereka lawan bukan orang asing nya, yang mereka lawan bukan agama nya, tapi yang mereka lawan adalah kesewenang-wenangan, yang mereka lawan adalah penindasan, yang mereka lawan adalah penjajahan.

Jadi jiwa revolusioner itu muncul atas dasar agama menolak Penindasan, Kesewenang-wenangan dan Penjajahan. Itulah yang paling ditakuti oleh para penjajah, mereka menyebut para ulama-ulama pejuang ini dengan sebutan *"Paus Islam"*, karena Pakaian Para Ulama Pejuang ini mengenakan pakaian seperti Paus dalam agama Katholik, yaitu pakaian putih panjang plus Imamah, seperti yang kita lihat pada sosok *Pangeran Diponegoro*, *Imam Bonjol*,  *Sentot Prawirodirjo* dll

Bahkan jiwa Revolusioner itu bukan hanya ada di pergerakan fisik saja, dalam lingkup pendidikan maestro pembaharuan dan persatuan kerakyatan muncul juga dari kalangan Ulama-ulama
Organisasi Pendidikan *Jamiatul Khair* yang didirikan oleh Para Habaib pada tahun 1901. Organisasi ini jauh lebih dulu berdiri daripada *Budi Utomo* yang baru dibentuk pada tahun 1908. Itupun *Jamiatul Khair* dianggap lebih berwawasan kebangsaan, termasuk *Sarekat Islam* yang lahir di tahun 1911, pendiri-pendirinya terinsprirasi dari *Jamiatul Khair*

Pertanyaan yang muncul saat ini adalah, apakah penjajahan, kesewenang-wenangan dan Penindasan itu sudah hilang dari Negri yang kita cintai ini?
Jika kita jawab, “oh tidak, Penjajah memang sudah pergi, tapi Jiwa Penjajah yang Rakus, Egois, Sewenang-wenang, Menindas, Haus Kekuasaan Masih ada”. Dan Semangat Penjajah yang Ingin merusak norma, nilai-nilai ketimuran masih getol diperjuangkan justru bukan oleh orang asing, tapi oleh masyarakat kita sendiri.

Semangat kolonialis yang *Gold*, *Gospel* and *Glory* itu justru diteruskan oleh masyarakat kita yang berjiwa seperti mereka, hingga terjadi pergeseran tata nilai ketimuran. Contoh kecil, di kota saya, Solo, dulu terkenal dengan wanita nya yang halus, lembut dan pemalu, hingga masyhur dengan sebutan "Putri Solo". Namun untuk mencari "Putri Solo" yang seperti itu, yang tinggi rasa malu nya, tinggi akhlaq nya, tapi lemah lembut pembawaan nya, untuk masa sekarang agak susah, dan saya kira pergeseran ini terjadi dimanapun, bukan hanya Solo. Belum lagi adanya tren cabe-cabean, tren brondong, hingga LGBT, yang semuanya adalah nilai-nilai impor dari Negri Penjajah.

Lalu, jika kita sudah bisa memahami bahwa Jiwa dan Semangat Penjajah itu masih berlanjut, pertanyaan nya, sebagai penyeimbang, masih adakah Jiwa dan Semangat Revolusioner Para Ulama Pejuang itu di zaman ini?
Jika jawabannya tidak ada, maka habis sudah, kita tinggal menunggu waktu saja kepada kehancuran dhohir dan batin dari Negri yang mulia ini.

Kita sangat membutuhkan Ulama-ulama Pejuang yang tidak kenal takut, Ulama Pejuang yang punya semangat dan integritas tinggi dalam menghalau semua usaha perusakan moral dan mental anak negri, Ulama Pejuang yang punya kepedulian terhadap kemurnian akhlaq yang sedang digerus dengan distorsi norma, baik norma agama maupun sosial kemasyarakatan.

Siapa yang masih mau memikirkan dan merisaukan nasib anak-anak Negri, dizaman yang serba super sibuk saat ini.?  Dizaman yang untuk memikirkan anak istri, keluarga inti saja sudah menyita waktu, tenaga dan pikiran cukup besar.

Sedang otomatis disamping mereka harus memikirkan diri dan keluarganya, masih memikirkan umat, memikirkan masa depan anak-anak Negri ini, belum lagi mereka harus menghadapi benturan yang ada, melawan media yang tentunya berpihak kepada keuntungan, bukan kepada nilai dan norma-norma.
Siapa yang siap dengan itu semua, siap dengan hujatan dan caci maki, yang datang justru dari anak Negri sendiri?

Itulah perjuangan di zaman ini, yang mungkin secara fisik lebih ringan dibanding perjuangan para Pejuang dahulu, tapi secara kejiwaan mungkin akan lebih berat. Semoga kita dijadikan Pejuang yang peduli dengan kondisi umat.

Dan termasuk yang ikut andil dalam perjuangan pembinaan untuk masyarakat, entah lewat pendidikan, dakwah, ekonomi atau lewat perlindungan dan pencegahan dari kemungkaran, ataupun dengan wujud apa saja yang beranjak dari keprihatinan kepada masyarakat
Aamiin Allahumma Aamiin..

Solo,  Agustus 2017

No comments:

Post a Comment