BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari
13.487 pulau, karenanya Indonesia
juga disebut sebagai “Nusantara”. Indonesia
terbentang dari Sabang sampai
Meurauke yang terdiri dari berbagai adat, tradisi, budaya, dan bahasa
daerah yang berdeda-beda. Perbedaan yang beraneka ragam membuat Indonesia
berdiri sebagai negara multikultural. Namun, segala perbedaan yang beraneka
ragam tersebut tidak menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Hal ini
dikarenakan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi sikap pluralisme.
Sikap
pluralisme masyarakat Indonesia juga ditujukan kepada suku Baduy, yaitu suku
yang masih sangat tradisional dan tidak menerima pengaruh apapun dari luar.
Perkembangan zaman yang semakin maju dengan segala macam teknologi canggih yang
menyertainya, ternyata tidak mampu mengusik eksistensi suku Baduy untuk tetap
memegang teguh adat istiadat yang telah diwariskan oleh para leluhurnya
hingga sampai sekarang ini. Sungguh hal yang sangat luar biasa apabila kita
berbicara tentang prinsip dan pedoman yang diterapkan oleh masyarakat suku
Baduy, yang lebih memilih untuk tetap terisolasi dari dunia luar dan berpegang
teguh dengan pola hidup yang sederhana dan tradisional. Betapa tidak, Banten
adalah sebuah kota modern, dan letaknya tidak jauh dari jantung ibukota negara
Indonesia, Jakarta, yang identik dengan kemewahan dan segala kecanggihannya.
Dengan
segala keaslian dan keunikan tersebut, sudah tentu banyak orang atau wisatawan
yang ingin berkunjung kesana. Orang Baduy terbuka kepada siapa pun yang
datang berkunjung, asalkan mereka menaati peraturan yang ada. Namun, semakin
banyak orang yang datang kesana, ditakutkan akan merusak alam yang telah dijaga
oleh suku Baduy selama bertahun-tahun.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa itu suku baduy ?
2. Bagaimana bahasa suku baduy ?
3. Bagaimana pengetahuan suku baduy ?
4. Apa mata pencaharian suku baduy ?
5. Apa alat/pekakas yang digunakan
dalam memenuhi kebutuhannya ?
6. Bagaimana politik kebijakan suku
baduy ?
7. Bagaimana kesenian/kebudayaan suku
baduy ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui tentang suku baduy
2. Mengetahui bahasa suku baduy
3. Mengetahui pengetahuan suku baduy
4. Mengetahui mata pencaharian suku
baduy
5. Mengetahui alat/pekakas yang
digunakan dalam memenuhi kebutuhannya
6. Mengetahui politik kebijakan suku
baduy
7. Mengetahui kesenian/kebudayaan suku
baduy
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Suku
Baduy
Urang Kanekes, Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui
adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” –
6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat
di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten-Rangkasbitung, Banten, . berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan
ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai
topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai
45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian
tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C, Perkampungan
masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah. Populasi
mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku
yang menerapkan isolasi dari dunia
luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto,
khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Sebutan
"Baduy" berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah
karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari
wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka,
atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka.
Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat
kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Mereka mandiri, menolak bantuan luar, merajut,
bertanam dan berpikir ke depan dengan otak jernih, jujur dan tulus.
Tidak ada keributan sesama mereka di sana. Tak
ada saling iri, dengki dan culas di tengah mereka.Suku Baduy adalah
kelompok kehidupan yang begitu patuh pada adat, ritual dan agama yang
mereka anut. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa
terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah Desa Ciboleger (jawa
barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi
sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan
adatnya yang di sebut Jaro.
Penampilan
fisik dan bahasa suku baduy mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya yang
membedakan adalah sistem kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes
menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup
mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh
asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum
terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Kelompok tangtu
Kelompok
ini yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling
ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo,
Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah :
¨ Pakaiannya berwarna putih alami dan
biru tua serta memakai ikat kepala putih.
¨ Mereka dilarang secara adat untuk
bertemu dengan orang asing.
Kanekes
Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar,
warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian
peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
Tidak
diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
Tidak
diperkenankan menggunakan alas kaki
Pintu
rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau
ketua adat)
Larangan
menggunakan alat elektronik (teknologi)
Menggunakan
kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri
serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
2. Kelompok
Panamping
Mereka
yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti
Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat
Kanekes Luar berciri khas :
¨ Mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna hitam.
¨ Mereka telah mengenal teknologi,
seperti peralatan elektronik.
¨ Proses pembangunan rumah penduduk
Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku,
dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
¨ Menggunakan pakaian adat dengan
warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak
suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
¨ Menggunakan peralatan rumah tangga
modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
¨ Mereka tinggal di luar wilayah
Kanekes Dalam.
¨ Sebagian di antara mereka telah
terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup
signifikan.
Kanekes
Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah
Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes
Dalam ke Kanekes Luar:
-
Mereka
telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
-
Berkeinginan
untuk keluar dari Kanekes Dalam
-
Menikah
dengan anggota Kanekes Luar
3. Kelompok
Dangka
Kelompok
Kanekes Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal dua
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar.
Perbedaan Suku Baduy Dalam dan
Luar
Mengenal
Suku Baduy Dalam dan Luar dapat tercirikan dari perbedaan yang cukup kentara,
terutama mengenai pantangan yang ditaati masyarakatnya. Dilihat dari
penampilan, masyarakat Baduy luar menggunakan pakaian serba hitam atau biru
donker untuk menyatakan bahwa mereka tidak lagi suci. Sementara masyarakat
Baduy dalam relatif menggunakan pakaian yang didominasi warna putih, meski
kadang ditambahkan ikat kepala hitam.
Masyarakat
baduy luar juga mengenali teknologi berupa alat-alat elektronik, walaupun
sesuai pantangan adat yang berlaku mereka sama sekali tidak mempergunakannya,
dan bahkan menolak penggunaan listrik.
Dalam
pembuatan rumah, masyarakat Baduy luar juga menggunakan alat bantu seperti
palu, gergaji, dan sebagainya yang masih dilarang keras untuk dipergunakan oleh
masyarakat Baduy dalam. Begitu juga dengan penggunaan bahan kimia seperti sabun
dan sampo yang diperbolehkan digunakan oleh masyarakat Baduy luar, sementara
masih berupa larangan oleh masyarakat Baduy dalam karena dianggap dapat
mencemari alam.
Bukan hanya pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Baduy, penduduk luar yang berkunjung pun wajib menaati pantangan yang diberikan, terutama yang diberlakukan oleh masyarakat tertutup dari Baduy dalam. Misalnya saja tidak boleh mengambil foto kawasan Baduy Dalam, mengikuti aturan adat istiadat yang diberlakukan saat berkunjung, dan tidak menerima tamu negara asing keturunan kaukasoid, mongoloid, juga negroid.
Nilai Hidup dalam Budaya Suku Baduy
Bukan hanya pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Baduy, penduduk luar yang berkunjung pun wajib menaati pantangan yang diberikan, terutama yang diberlakukan oleh masyarakat tertutup dari Baduy dalam. Misalnya saja tidak boleh mengambil foto kawasan Baduy Dalam, mengikuti aturan adat istiadat yang diberlakukan saat berkunjung, dan tidak menerima tamu negara asing keturunan kaukasoid, mongoloid, juga negroid.
Nilai Hidup dalam Budaya Suku Baduy
Walaupun
berbeda, nilai luhur dalam adat suku Baduy masih dipegang kuat dan terus
diwariskan turun-temurun oleh seluruh masyarakatnya. Hal tersebut telah ditanam
sedari kecil melalui tradisi ngolak, yaitu pendidikan orangtua terhadap anaknya
untuk mengajarkan hidup yang apa adanya, kesederhanaan, kekeluargaan lewat jiwa
gotong royong, juga bermacam kebisaan seperti berladang atau menenun.
2.2 Asal
Usul Suku Baduy
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku
keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus
ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek
moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk
warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga
harmoni dunia.
Pendapat
mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah,
yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita
rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat
Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari
Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa
wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa
kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan
tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi
komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van
Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna,
1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka
berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk
setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau
nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda
Wiwitan.
2.3 Kepercayaan
Suku Baduy
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang
berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan
alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek
ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya
ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu,
Buddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.
Bentuk
penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan
melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan,
kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan
penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga
hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep
"tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.
Objek kepercayaan terpenting bagi
masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap
paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan
setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu
lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu
lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat
Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak
turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering
atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya
ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja
yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu
lumping yang dipercaya apa bila saat
pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan
panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh
pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Lojor
heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut
dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah
kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah
lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya
menanam dengan tugal, yaitu
sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah
dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak
sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi,
bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Sistem kepercayaan yang dianut Mayoritas suku
Baduy mengakui kepercayaan sunda wiwitan yang meyakini akan adanya Allah
sebagai Guriang Mangtua dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam
sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kewajiban dalam
kepercayaan Ada 5 Upacara penting yaitu :
1. Upacara
Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang
dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah
puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang
dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah
melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
3. Seba
yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan
tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan
bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi
angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
5. Upacara
Kelahiran yang dilakukan suku Baduy melalui urutan kegiatan yaitu:
§ Kendit
yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
§ Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau
paraji untiuk dijampi-jampi.
§ Setelah
7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan
atau selametan.
§ Upacara
Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
§ Akikah
yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot)
yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan
dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes
ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum
sebelum masuknya Islam. Suku baduy
memiliki keunikan, yaitu :
1. Gotong royong masih menjadi kegemaran yang terus dilestarikan
Jika mungkin sifat
gotong royong lama kelamaan telah hilang tergerus oleh perkembangan zama, namun
hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Suku Baduy Dalam. Sifat gotong royong
selalu diterapkan oleh Suku Baduy Dalam pada saat mereka harus berpindah tempat
dari satu wilayah ke wilayah lain yang lebih subur. Sebagai suku nomaden (tidak
memiliki tempat tetap) dan menganut sistem ladang terbuka, membuat Suku Baduy
Dalam hidup saling membantu. Kerukunann dan gotong royong masih sangat
dijunjung tinggi oleh orang Baduy.
2. Kebahagiaan sederhana khas Suku Baduy Dalam
Suku Baduy Dalam
memang masih belum dialiri listrik. Hal inilah yang menjadikan wilayah ini
menjadi seolah ‘mati’ begitu malam hari tiba. Tidak banyak aktivitas yang bisa
kita lakukan pada malam hari karena keterbatasan cahaya. Namun justru hal inilah
yang akan membuat kita memperoleh pengalaman baru. Biasanya warga memainkan
alat musik seperti kecapi untuk menemani malam mereka, sembari tak lupa
mengobrol dan bertukar cerita dengan tetangga.
3. Hidup hemat ala Suku Baduy bisa kita lihat dari kegemaran orang orangnya berjalan kaki
Suku Baduy memang
dikenal sebagai salah satu suku yang masih sangat memegang teguh ilmu ilmu
leluhur. Salah satunya yakni adanya larangan menggunakan kendaraan seperti
motor atau pun mobil. Namun hal tersebut tak lantas membuat Suku Baduy Dalam
merasa terasing dari dunia luar. Dolaners akan dibuat kagum setelah mengetahui
bahwa warga Suku Baduy Dalam selalu
berjalan kaki apabila mengunjungi kerabatnya yang tinggal di kota besar untuk
bertamu maupun berjualan hasil ladang dan kerajinan tangan khas Suku Baduy
Dalam. Bahkan tak jarang mereka berjalan jauh sampai ke kota kota besar, tanpa
rasa mengeluh sedikitpun.
4. Pu’un, seseorang yang diangap layaknya presiden di Kampung Baduy Dalam
Setiap suku yang
tinggal di Indonesia pasti memiliki kepala adat yang berfungsi mengatur
warganya. Begitu juga Suku Baduy Dalam yang memiliki kepala adat yang biasa
dipanggil Pu’un. Pu’un adalah orang yang memiliki kelebihan yang berbeda
dibanding warga biasa. Tugas dari Pu’un yaitu menentukan masa tanam dan panen.
Menerapkan hukum adat kepada warganya, mengobati yang sakit. Pu’un sangat
dihormati dan dianggap seperti seorang presiden orang masyarakat Suku Baduy
Dalam. Oleh karenanya tidak sembarangan orang bisa bertemu dengan beliau, hanya
orang orang yang berkepentingan khusus dan mendesak saja yang bisa bertemu
dengan Pu’un.
5. Bentuk rumah tak mencermikan status sosial kekayaan Suku Baduy
Jika pada umumnya,
seseorang yang memiliki rumah mewah dianggap sebagai orang kaya, berpangkat
tinggi, dan dipandang banyak orang, namun hal ini tidak berlaku pada masyarakat
Suku Baduy Dalam. Suku Baduy Dalam memiliki bentuk rumah yang hampir serupa
satu sama lainnya. Pada peraturan Suku Baduy ini, yang
membedakan status kekayaan mereka adalah tembikar yang dibuat dari kuningan
yang disimpan di dalam rumah. Semakin banyak tembikar yang disimpan, menandakan
status keluarga tersebut semakin tinggi dan dipandang orang.
6. Batang Bambu yang menjadi pengganti gelas
Pelarangan
menggunakan gelas serta piring sebagai tempat untuk menyimpan air dan alas
untuk makan tidak membuat Suku Baduy Dalam kehilangan akal. Dibekali sumber
daya alam yang banyak, Suku Baduy Dalam membuat gelas serta tadah air minum
yang terbuat dari bambu panjang. Dan justru dengan bambu panjang inilah aroma
khas yang timbul secara alami semakin membuat minuman yang di seduh di dalamnya
mengahsilkan cita rasa yang berbeda dan bahkan lebih lezat.
7. Hidangan olahan Ayam dianggap makanan mewah oleh masyarakat Baduy
Tidak seperti
masyarakat pada umumnya yang biasanya menyediakan menu ayam pada setiap makanan
yang disajikan, tidak begitu dengan Suku Baduy Dalam. Meskipun sebenarnya, pada
saat kita berkunjung ke wilayah Suku Baduy, maka dengan
gampangnya kita bisa menemukan ayam berkeliaran bebas di kampung, bukan berarti
ayam bisa menjadi makanan sehari hari. Suku Baduy Dalam hanya menyantap hidangan
ayam setidaknya 1 bulan sekali atau hanya pada saat upacara upacara besar,
seperti pernikahan dan kelahiran. Hal ini karena hidangan olahan ayam dianggap
makanan yang mewah dan istimewa disini.
8. Orang tua Suku Baduy Dalam yang punya cita-cita sederhana
Jika kebanyakan yang
memiliki cita cita adalah kita yang masih memiliki masa depan yang panjang,
alias masih belia. Namun hal yang unik bisa kita dapatkan ketika sedang
mengunjungi kampung Baduy. Dimana, disini tak hanya kawula muda saja yang
memiliki cita cita, namun para orang tua pun juga menyimpan cita cita. Cukup
sederhana, mereka hanya ingin anak anak mereka kelak membantu berladang. Sangat
sederhana jika didengar oleh telinga orang ‘modern’ seperti kita, namun justru
di situlah kearifan lokal mereka sangat terasa.
9. Salah satu tradisi yang dianggap lumrah dan masih dilakukan, perjodohan
Perjodohan. Ya, kata
tersebut nampaknya identik dengan zaman dahulu. Sebuah hal yang tidak lazim
dilakukan pada zaman sekarang namun masih berlaku di Suku Baduy Dalam. Seorang
gadis yang sudah berumur 14 tahun akan dijodohkan dengan laki laki yang berasal
dari Suku Baduy Dalam. Selama masa penjodohan, orang tua dari
laki laki Baduy Dalam bebas memilih wanita Baduy Dalam yang disukainya. Namun
jika belum menemukan pilihan yang cocok, laki laki maupun perempuan harus
menuruti pilihan sang orang tua ataupun pilihan yang diberikan oleh sang Pu’un.
10. larangan berkunjung selama 3 bulan
Salah satu tradisi
dari warga Baduy Dalam yang hingga kini masih terus dijalankan adalah tradisi
Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang
dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa
kepada Tuhan agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Pada
saat tradisi Kawalu dijalankan, para wisatawan dilarang masuk ke dalam wilayah
Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya wisatawan hanya diperbolehkan
berkunjung sampai Baduy Luar dan itupun tidak diperbolehkan menginap.
2.4 Bahasa
Suku Baduy
Bahasa Baduy adalah bahasa
yang digunakan suku Baduy. Penuturnya tersebar di gunung Kendeng, Rangkasbitung,
Lebak; Pandeglang; dan Sukabumi. Dari segi linguistik, bahasa Baduy bukan dialek dari bahasa Sunda, tapi dimasukkan ke dalam
suatu rumpun bahasa Sunda, yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun
bahasa Melayu-Sumbawa
di cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun
bahasa Austronesia.Mereka
juga dapat berbahasa Indonesia untuk komunkasi dengan masyarakat luar.
2.5 Pengetahuan
Suku Baduy
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa
mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern
di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.
Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Sistem
pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat
peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang
Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa sosial, dan teknik bertani
yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih
tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang
Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini
ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara).
Sistem
perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama
berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika
dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu
dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi
atau masa bera yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan
biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan
menggunakan cara tebang bakar.
Masyarakat
Baduy masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan Sunda
(Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak
kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi
selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan
meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam
yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada
suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7
sampai 10 tahun.
Sebagaimana
masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat Baduy mempunyai jadwal
pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada letak benda
astronomi tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari.
Adapun patokan bintang yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi
Orion) dan bintang Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang
kidang lebih banyak dipakai karena lebih jelas terlihat. Kemunculan bintang
kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai
bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian. Dalam ungkapan
mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus
mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang,
tanggal kidang mah laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah
condong ke utara, ketika bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita
mengamati penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang
kidang kita mulai menggunakan alat pertanian (kujang)”
Adapun alat
pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip pengolahan
lahan mereka adalah sesedikit mungkin mengganggu tanah. Mereka membuka huma
dengan bedog atau parang panjang dan kujang (parang pendek atau pisau), dan
menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan sepotong
kayu. Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah terlarang.
Kalender
sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang berpatokan
pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan. Menurut
Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah
sebagai berikut: Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan,
Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut
juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga,
yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa panen disebut pula
masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai bentuk
larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya tidak
diterima.
Masyarakat
Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan cara bercocok
tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan berpindah tersebut
sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan di wilayah tersebut.
Dengan demikian hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat
Baduy dengan lingkungan alamnya. Keberadaan mereka menurut sejarah dan
kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang
menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan
untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang berperan sangat penting
dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan yang melindungi mata
airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau kepala air.
Kebiasaan
masyarakat kanekes dalam membangun rumah pada hakekatnya merupakan pencerminan
keteguhan masyarakat dalam melaksanaan peraturan peraturan adat sebagai tradisi
turun temurun dari nenek moyangnya. Membongkar tanah adalah buyut. Apabila
permukaan tanah tempat mendirikan rumah ternyata tidak rata, maka bukan
permukaan tanahnya yang diratakan, melainkan tiang tiang panggung rumah yang
disesuaikan tinggi atau rendahnya menurut kelerengan permukaan rumah. Rumah
tradisional baduy berupa panggung dengan lantai pelepah bambu dan berdinding
bilik anyaman bambu. Atapnya terbuat dari daun rumbia dan ijuk. Konstruksi
rumah tidak menggunakan paku dan cat, umumnya terdiri dari lima bagian; SOSORO
atau Serambi, TEPAS atau Ruang Tamu, IMAH atau Ruang Utama yang juga berfungsi
sebagai kamar, MUSUNG atau Tempat Penyimpanan Barang dan PARAKO atau Tempat
Penyimpanan Barang diatas Tungku.
2.6 Mata
Pencaharian Suku Baduy
Mata
pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai
tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali
dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari
hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy
biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki,
umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk
mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan
mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Hasil pertanian mereka berupa beras biasanya mereka simpan di
lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat
kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya terbuat dari kulit
kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun,
maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain
itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
2.7 Alat/Pekakas
Suku Baduy
Alat-Alat Produksi
Golok/Bedog
Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy.
Ada dua macam Golok yang dibuat dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu golok
polos dan golok pamor. Golok polos dibuat dengan proses yang biasa, menggunakan
besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor yang ditempa berulang-ulang. Golok
ini digunakan oleh orang Baduy untuk menebang pohon, mengambil bambu, dan
keperluan lainnya. Golok pamor memiliki urat-urat atau motif gambar yang
menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok pada kedua permukaannya.
Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja yang
khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di
samping memiliki kharisma tersendiri bagi yang menyandangnya.
Golok buatan orang Baduy-Dalam berbeda dengan buatan orang
Baduy-Luar. Secara jelas perbedaannya terletak pada sarangka dan perah-nya,
baik yang berpamor maupun tidak.
Kujang
Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma,
misalnya untuk nyacar, ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah Sunda
yang lain sering dinamakan arit. Kujang dibuat dari bahan besi dan baja yang
ditempa. Alat ini disebut kujang karena berbentuk mirip kujang sebagai senjata
khas Pajajaran dan kini menjadi simbol daerah Jawa Barat.
Istilah kujang ditujukan untuk bentuk seperti kujang dengan
bagian bawah (tangkai)nya seperti golok , dan alat ini banyak digunakan oleh
orang Baduy Dalam. Sedangkan bagi orang Baduy Luar biasanya menggunakan istilah
kored (alat untuk pekerjaan ngored/membersihkan rerumputan di huma).
Kapak Beliung
Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai
salah satu perkakas untuk membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak.
Gagangnya terbuat dari kayu yang agak panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan
Baliung harus lebih besar daripada golok, dan karena itu dibuat dari besi baja
yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal (yang tumpulnya).
Senjata
Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan
perkakas tajam, yaitu kampung Batu Beulah dan Cisadane. Kedua kampung ini
letaknya tidak berjauhan, dan berada di sebelah Selatan Baduy (Kanekes). Tukang
membuat perkakas tajam ini dinamakan Panday Beusi. Yang dibuatnya antara lain
Golok, Kujang, dan Baliung. Kampung yang sangat populer goloknya yaitu dari
panday beusi Batu Beulah dan Cisadane. Sejak dahulu kedua kampung yang
berdekatan ini sudah terkenal buatan goloknya yang sangat hebat (karena kekuatan,
ketajaman, dan pamornya).
Wadah
Lodong
Salah satu kegiatan wanita suku Baduy adalah mencari lahang
untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu
sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh
di sekitar kampung dan hutan.
Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental
sebelum kemudian dicetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap
jual. Dalam sehari setidaknya dia dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup
gula aren yang dihasilkan dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4.000.
2.8 Politik
Kebijakan Suku Baduy
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk
Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah,
yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada
pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Puun merupakan pemimpin tertinggi
pada masyarakat Baduy.dilaksanakan oleh jaro, Dalam melaksanakan
kehidupan sehari-hari pemerintahannya dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro
tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
Adapun tugas-tugas mereka antara lain:
1. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan
hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya.
2. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan
memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes.
3. .Jaro dangka berjumlah 9
orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro
duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro
tanggungan.
4. Jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai
penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang
dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur
atau tetua kampong.
Desa
Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah. Seperti
kepala desa atau lurah di desa lainnya, ia berada di bawah camat, kecuali untuk
urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang
disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi
untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui
camat) untuk dikukuhkan
Dikarenakan
masyarakat kanekes mengenal dua system pemerintahan, yaitu Sistem Nasional,
yang mengikuti atauran Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sistem Adat yang
mengikuti adat istiadat yang dipercaya masayarakat tersebut. Kedua system
tersebut digabungkan atau diakulturasikan sedemikian rupa sehinga tidak terjadi
pembenturan. Secara Nasional penduduk kanekes dipimpin oleh kepala desa yang
disebut sebagi Jaro Pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara
adat tunduk pada pemimpin data kanekes yang tertinggi, yaitu “puun” .
Untuk
bertahan mereka diikat oleh sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan
sosio-politik dan keagamaan. Pengaturan kehidupan keseharian warga masyarakat
sepenuhnya di bawah kendali sistem pemerintahan yang bersandar pada pikukuh
karuhun yang dikenal sebagai pamarentahan Baduy dengan ketiga
puun sebagai pucuk rujukan mereka yang berkedudukan di tiga daerah tangtu,
yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Praktek kepemimpinan ketiga puun
masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda sesuai dengan kedudukan dan
perannya dalam hirarki kekerabatan. Puun Cibeo yang dihubungkan oleh
garis keturunan yang paling muda bertindak sebagai pemimpin politik yang
berperan mengatur warga masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup duniawi
dan Puun Cikeusik yang ditentukan oleh garis keturunan yang paling tua
berperan memimpin agama dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan identitas
budaya, sedangkan Puun Cikartawana kedudukannya di antara kepemimpinan
agama dan politik.
Dari
segi pemerintahan tradisional, masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut
kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini
terdapat tiga Cikartawana. Puun-puun ini merupakan tritunggal, karena selain
berkuasa di wilayahnya masing-masing, juga secara bersama-sama memegang
kekuasaan pemerintah tradisional masyarakat Baduy. Walaupun merupakan satu
kesatuan kekuatan, ketiga puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas yang
berlainan. Wewenang kapuunan Cikeusik menyangkut urusan keagamaan dan ketua
pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara (seren tahun,
kawalu, dan seba), dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang
kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy,
termasuk pada urusan administratur tertib wilayah, pelintas batas dan
berhubungan dengan daerah luar. Sedangkan wewenang kapuunan Cikartawana
menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan
pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan
dengan kawasan Baduy.
SISTEM
POLITIK MASYARAKAT KANEKES
Masyarakat Kakenes mengenal dua sistem perintahan, yaitu sistem pemerintahan nasional dan sistem pemerintahan tradisional yang mengikuti adat dan istiadat yang dipercaya masyarakat setempat. Kemudian, kedua sistem tersebut mereka gabungkan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades) yang dengan bahasa mereka disebut dengan Jaro Pamarentah yang kedudukanya berada di bawah Camat. Sedangkan secara adat, penduduk Kanekes tunduk pada pimpinan adat kanekes teringgi yang mereka sebut dengan Puun. Puun itu sendiri ada tiga orang yang tersebar di tiga kampung, tempat berdomisilinya masyarakat Kanekes kelompok tangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Salah satu ciri dari sistem politik adalah adanya diferensiasi dalam sistem politik tersebut. Maksudnya adalah adanya pembagian peran dan kerja (division of labor) dan fungsi yang berbeda-beda namun saling berkaitan demi menjalankan mesin politik untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungan semua pihak. Bila dalam sistem politik Indonesia kita mengenal istilah eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, dll sebagai pembagian tugas yang memiliki fungsi dan peranya masing-masing, di dalam sistem politik tradisional masyarakat kanekes, kita akan menemui istilah Puun, Jaro, Kokolot, dsb. Pada masyarakat Kanekes, Puun adalah pangkat tertinggi dalam pemerintahan adat mereka. Jabatan Puun tersebut berlangsung turun temurun. Namun tidak otomatis dari Bapak ke Anak, melainkan dapat juga ke kerabat lainya. Jangka waktu jabatan seorang Puun pun tidak ditentukan, hanya berdasarkan kemampuan seseorang memegang jabatan. Sedangkan pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh Jaro yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah.
Unit-unit dalam sistem politik merupakan tindakan-tindakan yang ada hubunganya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, maka dalam sistem politik dikenal istilah input, konversi atau proses, dan output. Perefleksian input, konversi, dan output ini juga dapat dilihat pada pemerintahan ataupun sistem politik masyarakat Kanekes, meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Secara teori, input dalam sistem politik bisa berupa tuntutan (demand), ataupun dukungan (support). Dalam masyarakat Kanekes, contoh sebuah permasalahan, misalnya, input berupa tuntutan datang dari masyarakat Kanekes sendiri akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari meningkatnya volume pengunjung yang mengunjungi daerah mereka akibat semakin tersosialisasikan dengan baik informasi mengenai kehidupan mereka yang masih tradisional sehingga menimbulkan banyak orang luar dari berbagai kalangan yang berminat mengunjungi Kanekes. Secara sengaja ataupun tidak, para pengunjung itu membuat kehidupan masyarakat setempat tidak nyaman karena adanya beberapa pelanggaran adat yang dilakukan oleh mereka, seperti memotet, mencemari air sungai mereka, dsb. Lalu, masyarakat Kanekes pun memprotes dan menuntut pemerintah kapuunan secara tradisional untuk segera mengambil tindakan demi mengatasi permasalahan ini dengan cara terbaik. Tuntutan masyrakat itu bisa dikategorikan sebagai input.
Kemudian, oleh pemerintah kapuunan, input itupun diterima dan di konversi atau dengan kata lain adalah diproses dengan cara dirundingkan secara adat dengan para pejabat pemerintah kapuunan, antara lain puun, para jero, tangkesan, baresan, girang seurat, jaro pamarentah, kokolot, carik, dsb, dengan tetap menggunakan ruang lingkup adat mereka, dalam hal ini khususnya, peran kokolot atau yang lebeih kita kenal adalah sesepuh menjadi sangat penting sebagai sumber referensi untuk pengambilan kebijakan yang tetap dalam koridor tradisionalisme mereka. Perundingan adat itupun menghasilkan suatu keputusan berupa kebijakan yang disepakati bersama dan disahkan oleh puun. Perundingan adat yang terjadi itu disebut konversi, sedangkan keputusan ataupun kebijakan yang dihasilkan dari perundingan serta disahkan oleh puun disebut sebagai output.
Output yang berupa kebijakan itupun di sosialisasikan secara adat pula kepada masyarakat Kenekes itu sendiri ataupun kepada pengunjung Kenekes. Kebijakan itu, misalnya, berupa persyaratan bagi para pengunjung kenekes, bahwa setiap pengunjung harus mematuhi adat istiadat masyarakat Kenekes asli dengan tidak berfoto di daerah Kenekes, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai, pelarangan masuk daerah Kenekes bagi WNA, dsb.
Masyarakat Kakenes mengenal dua sistem perintahan, yaitu sistem pemerintahan nasional dan sistem pemerintahan tradisional yang mengikuti adat dan istiadat yang dipercaya masyarakat setempat. Kemudian, kedua sistem tersebut mereka gabungkan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades) yang dengan bahasa mereka disebut dengan Jaro Pamarentah yang kedudukanya berada di bawah Camat. Sedangkan secara adat, penduduk Kanekes tunduk pada pimpinan adat kanekes teringgi yang mereka sebut dengan Puun. Puun itu sendiri ada tiga orang yang tersebar di tiga kampung, tempat berdomisilinya masyarakat Kanekes kelompok tangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Salah satu ciri dari sistem politik adalah adanya diferensiasi dalam sistem politik tersebut. Maksudnya adalah adanya pembagian peran dan kerja (division of labor) dan fungsi yang berbeda-beda namun saling berkaitan demi menjalankan mesin politik untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungan semua pihak. Bila dalam sistem politik Indonesia kita mengenal istilah eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, dll sebagai pembagian tugas yang memiliki fungsi dan peranya masing-masing, di dalam sistem politik tradisional masyarakat kanekes, kita akan menemui istilah Puun, Jaro, Kokolot, dsb. Pada masyarakat Kanekes, Puun adalah pangkat tertinggi dalam pemerintahan adat mereka. Jabatan Puun tersebut berlangsung turun temurun. Namun tidak otomatis dari Bapak ke Anak, melainkan dapat juga ke kerabat lainya. Jangka waktu jabatan seorang Puun pun tidak ditentukan, hanya berdasarkan kemampuan seseorang memegang jabatan. Sedangkan pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh Jaro yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah.
Unit-unit dalam sistem politik merupakan tindakan-tindakan yang ada hubunganya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, maka dalam sistem politik dikenal istilah input, konversi atau proses, dan output. Perefleksian input, konversi, dan output ini juga dapat dilihat pada pemerintahan ataupun sistem politik masyarakat Kanekes, meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Secara teori, input dalam sistem politik bisa berupa tuntutan (demand), ataupun dukungan (support). Dalam masyarakat Kanekes, contoh sebuah permasalahan, misalnya, input berupa tuntutan datang dari masyarakat Kanekes sendiri akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari meningkatnya volume pengunjung yang mengunjungi daerah mereka akibat semakin tersosialisasikan dengan baik informasi mengenai kehidupan mereka yang masih tradisional sehingga menimbulkan banyak orang luar dari berbagai kalangan yang berminat mengunjungi Kanekes. Secara sengaja ataupun tidak, para pengunjung itu membuat kehidupan masyarakat setempat tidak nyaman karena adanya beberapa pelanggaran adat yang dilakukan oleh mereka, seperti memotet, mencemari air sungai mereka, dsb. Lalu, masyarakat Kanekes pun memprotes dan menuntut pemerintah kapuunan secara tradisional untuk segera mengambil tindakan demi mengatasi permasalahan ini dengan cara terbaik. Tuntutan masyrakat itu bisa dikategorikan sebagai input.
Kemudian, oleh pemerintah kapuunan, input itupun diterima dan di konversi atau dengan kata lain adalah diproses dengan cara dirundingkan secara adat dengan para pejabat pemerintah kapuunan, antara lain puun, para jero, tangkesan, baresan, girang seurat, jaro pamarentah, kokolot, carik, dsb, dengan tetap menggunakan ruang lingkup adat mereka, dalam hal ini khususnya, peran kokolot atau yang lebeih kita kenal adalah sesepuh menjadi sangat penting sebagai sumber referensi untuk pengambilan kebijakan yang tetap dalam koridor tradisionalisme mereka. Perundingan adat itupun menghasilkan suatu keputusan berupa kebijakan yang disepakati bersama dan disahkan oleh puun. Perundingan adat yang terjadi itu disebut konversi, sedangkan keputusan ataupun kebijakan yang dihasilkan dari perundingan serta disahkan oleh puun disebut sebagai output.
Output yang berupa kebijakan itupun di sosialisasikan secara adat pula kepada masyarakat Kenekes itu sendiri ataupun kepada pengunjung Kenekes. Kebijakan itu, misalnya, berupa persyaratan bagi para pengunjung kenekes, bahwa setiap pengunjung harus mematuhi adat istiadat masyarakat Kenekes asli dengan tidak berfoto di daerah Kenekes, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai, pelarangan masuk daerah Kenekes bagi WNA, dsb.
2.9 Kesenian/Kebudayaan
Suku Baduy
Kesenian
Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung
(pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan
alat musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.
Angklung Buhun salah satu kesenian
masyarakat Baduy yang pertaman kali lahir, kesenian Tradisonal ini berbau magis
dan mempunyai unsure saklar. Angklung Buhun bukannya kesenian pagelaran yang
setiap saat bisa ditonton, tetapi Angklung Buhun dipentaskan pada satu tahun sekali,
dengan gaya dan versi yang sama. Semua ungkapan bertumpu pada pakem, yang
dijadikan keharusan, disamping tembang, tari, dan tabuhannya harus bisa menyatu
dengan seniman yang memainkannya. Kesenian Angklung Buhun hadir bersama dengan
orang Baduy, dan punya arti penting sebagai penyambung amanat, kepada para ahli
waris untuk mempertahankan kelangsungan anak-keturunan Baduy. Unsure seninya
sebagai daya tarik yang mampu menyentuh rasa, pementasan merupakan jembatan
sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan, ajakan, peringatan, laranagn, dan
penerangan.
Rendo Pengiring Pantun merupakan
salah satu alat kesenian Tradisional masyarakat Baduy memberikan warna kehdupan
budaya bervariasi, sebagai pembangkit rasa ingat para warga kepada amanat leluhurnya.
Rendo hadir pada setahun sekali secara pasti, setelah selesai musim ngored,
menjelang pohon padi mulai berbunga. Peristiwa ini merupakan waktu senggang
yang digunakan untuk kesibukan membaca pantun,dalam membuka tabir sejarah
perjalanan hidup leluhurnya.
Kegiatan mantun biasanya dipimpin oleh tokoh masyarakat,
yang lebih mengetahui, serta bertanggung jawab untuk menyampaikan amanat.
Mantun merupakan upacar kecil yang dilakukan dari rumah ke rumah, pada malam
hari untuk lek-lekan sampai larut malam.
Kebudayaan Adat Istiadat Suku Baduy
Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy
Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari untuk dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. . Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.
Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.
Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy
Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari untuk dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. . Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.
Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.
Bulan Puasa Kawalu
Di saat Kawalu, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka sebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan - selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu.
Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh
masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang
akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua
laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan
kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan
dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus
melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir
secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran
kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas
kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju
serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan
akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh
Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang
Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk
menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suku baduy merupakan suku asli di
tanah sunda yang berlokasi di daerah Banten. Suku baduyn masih menjaga tradisi
mereka dan menjaga amanat dari nenek moyang mereka untuk selalu menjaga alam.
Mereka sudah tidak lagi nomaden atau berpindah seperti yang dikatakan oleh para
ahli sejarah. Mereka sudah menetap dan bercocok tanam bahkan masyarakat baduy
luar tidak lagi menutup diri, mereka
sudah dapat berbaur dengan masyarakat luar. Suku baduy merupakan bagian dari
suku di Indonesia yang menjadi bukti bawa Indonesia kaya akan keanekaragaman
budaya yang harus dibanggakan dan menghargai keberadaan mereka karena
bagaimanpun juga mereka adalahwarga Negara Indonesia yang masih memegang teguh
kepercayaan kebuyutan atau amanat dari nenek moyang.
3.2 Saran
Kebudayaan masyarakat baduy merupakan
kebudayaan yang khas oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan kebudayaan
masyarakat baduy agar kebudayaan mereka tetap lestari. Sebaiknya pemerintah
daerah kabupaten Lebak tetap memberikan kebebasan bagi suku baduy untuk
mengatur masyarakatnya dengan kebudayaan asli mereka. Maka kebudayaan suku
baduy akan menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa kita yang memiliki
bermacam-macam kebudayaan dan adat istiadat yang beragam. Namun walaupun
memiliki keanekaragaman adat istiadat, bangsa kita tetap mempunyai jiwa
persatuan yang kuat seperti yang tercantum dalam semboyan kita Bhineka Tunggal
Ika.
Kami yakin
dalam pembelajaran dan pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannya.
Sebagai bahan bagi kemajuan kami dalam pembuatan makalah ini, kami mohon kritik
dan sarannya. Karena kesempurnaan hanya milik Allah Yang Maha Esa.
DAFTAR
PUSTAKA
Bolavita adalah agen judi online dengan berbagai game menarik.
ReplyDelete- Casino online
- Bolatangkas
- Taruhan bola online / sportsbook
- Poker Online
- Tembak ikan
- Slot Game
- Togel online SGP / HK / KL
• Baccarat
• Dragon Tiger
• Roulette
• Sic Bo
• Niu-Niu
• Sakong
• Fan Tan
Untuk Proses Deposit dan withdraw cepat bisa melalui.
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )
Bonus Deposit + Cashback, Kunjungi Website Kami di bolavita club
Ini Baduy luar atau Baduy dalam?
ReplyDelete